AKU DAN SEGELAS COKELAT PANAS
oleh: paranjare
"Hey
kau!. Bagaimana kabarmu?,kemana aja?, dari tadi gak ada kabar" Dia tak
menggubris, melirik pun tidak. Dia hanya menunduk fokus pada segelas
susu coklat di depannya.
"Bagaimana kabar bapak, ibumu di rumah?" dia menatap ku tajam. Seolah olah ada sesuatu ada di dalam dadanya.
"Klutuk-klutuk" bunyi
sendok yang berbenturan gelas. Dia hanya melihat dan mengaduk-aduk
cokelat di depannya, tidak meminumnya sedari tadi.
--------------
Aku mengajaknya bertemu
ketika dia di Jogja. Jarang-jarang dia ke jogja setelah dia kuliah
di Surabaya. Dengar-dengar dia mau menghadiri saudara sepupunya yang
menikah.
"Nana keteman yuk"aku memberi pesan kepada dia lewat DM (direct menenger).
Satu dua jam aku
melihat hp mengecek balasannya. Sayang hanya ada notifikasi grup
whatsapp yang aku malas untuk membacanya. Aku masih menunggu dan
menunggu. Berharap ada balasan darinya. Memang sudah lama kami tidak
saling berkomunikasi. Aku hanya bisa melihatnya di dalam story
instagramnya. Hanya sekedar tahu bagaimana kabarnya. Walaupun tanpa
kata-kata, setidaknya dengan aku melihat wajahnya dalam dunia maya rasa
rinduku bisa sedikit terobati.
Hari terus berganti.
Pagi menyongsong, mentari pagi menyapa seluruh penduduk bumi,
mengingatkan untuk segera beraktivitas. Aku duduk di balkon rumah.
Seperti biasa dengan secangkir teh hangat. Aku mengambil handphone masih
penuh harap ada balasan dari Nana.
"Yuks..." jawabnya singkat padat dan jelas. Akhirnya ada kabar baik juga datang.
"Mau ketemu kapan?
Dimana?" Lagi-lagi aku harus menunggu. Setidaknya ada harapan untuk
melihat wajahnya langsung setelah sekian lama tidak bertatap muka.
Sedikit yang tidak aku
suka darinya, seperti tipe-tipe cewek yang aku baca di Instagram,
Facebook, gambar meme juga. Intinya cewek itu kalau balas chat dari
cowok lama banget. Cowok balas chat dari cewek hanya butuh sepersekian
detik. Tapi kalau cewek, butuh beberapa menit bahkan beberapa jam untuk
membalas chat dari cowok. Udah gitu singkat lagi. Walau itu tidak
berlaku pada semua cewek.
Tiga puluh lima menit dua belas detik kemudian hp berbunyi menandakan ada pesan masuk lewat Instagram.
"Terserah mas deh, aku ngikut" Lumayan jawabannya agak panjang.
"Ketemu di kafe aja yah. Entar jam dua siang" Harap-harap cemas.
Dadaku berdegub
kencang, pikiran sudah kemana-mana membayangkan wajahnya nan cantik
menyapa dengan senyuman manisnya. Rasanya enam jam menuju pertemuan itu
hatiku tidak bisa tenang, resah dan sudah tak sabar ingin bertemu. Tapi
apa daya, waktu berjalan konstan tidak mau diajak bekerja sama.
Jam masih menunjukkan
jam delapan kurang tujuh menit. Tapi dia masih belum mengkonfirmasi
apakah dia bisa atau tidak. Lima menit menatap layar handphone menunggu
penuh keresahan.
"Ya..." masih seperti biasa, singkat, padat jelas dan tak perlu penjelasan lagi.
"Huft". Akhirnya, aku bisa selebrasi di dalam hati.
"Oke. Nanti jam dua di Kafe di lantai dua yah" balas ku.
Tepat jam delapan pagi,
aku duduk santai di balkon kamar ku. Aku menatap langit yang sudah
semakin terang seakan-akan langit tahu apa isi hati ini.
"Bremmmm..." Aku berpacu dengan waktu. Dengan mobil keluaran baru tak butuh waktu lama tuk berlenggak-lenggok di jalanan.
Aku duduk di pojokan
lantai dua. Sudah ada segelas coklat panas dan roti panggang keju di
meja. Aku melihat jam di tangan kiri ku jarum panjang sudah menyentuh
angka enam yang berarti sudah setengah jam lebih aku menunggu. Aku sudah
terbiasa datang sepuluh menit lebih awal ketika ada acara. Aku sudah
mencoba menghubunginya beberapa waktu lalu, tapi sama saja tidak ada
balasan. Jarum panjang terus berputar tanpa ampun, terus bergerak dengan
konstan, tidak melambat ataupun lebih cepat. Pukul tiga lewat dua belas
menit aku masih memandangi hp yang masih belum ada kabar darinya.
Aku berpikir dia sudah
berubah banyak semenjak dia kuliah di Surabaya. Dulu dia sangat semangat
jika aku mengajaknya bertemu. Dulu dia sangat cepat balas pesan-pesan
dari ku. Dulu dia akan mengabari ku dengan segera jika dia tidak bisa
hadir. Seperti ketika aku mengajak bertemu di hari sebelum aku berangkat
pergi kunjungan. Handphone ku mati dan tidak bisa menghubungi nya. Tapi
dia memberi pesan ke teman ku jika dia tidak bisa datang. Tepat
beberapa jam sebelum jam yang di tentukan.
"Mas maaf aku gak bisa datang." setelah hampir dua jam menunggu. Seperti yang ku duga.
"Oh iya gak apa-apa" walau di dalam hati tidak. Sesak pula. Sudah menunggu beberapa jam tapi akhirnya tidak datang juga.
"Trus gimana ini? Kapan jadi ketemunya mumpung kamu lagi di Jogja?".
"Besok malam aja gimana mas?"
"Boleh-boleh. Mau dimana? Jam berapa?"
"Jam delapan-an aja, di kafe deket rumah mu"
"Oke, oke"
Mungkin dia sudah tidak
lagi mencintaiku. Mungkin dia sudah tidak lagi menyayangiku. Mungkin di
dalam hatinya sudah tidak ada aku lagi. Walau di mulut seperti biasa.
Tapi tidak dengan hati ini. Aku merasa aku telah di acuh kan. Serasa ada
dan tiadanya aku di samping dia tidak berarti apa apa. Sakit, hancur
bagai di injak-injak dengan sepatu bergerigi. Bukan kali ini saja dia
mengacuhkanku.Tapi sudah beberapa kali dia melakukan itu pada ku.
Jam delapan kurang
sepuluh menit aku sudah sampai di tempat yang sudah di janjikan. Aku
memesan minum terlebih dahulu. Segelas cokelat panas sudah cukup untuk
menemani malam yang sendu ini. Lima belas menit kemudian dia datang.
Tidak seperti yang kuduga sebelumnya. Walaupun tidak seperti dulu, yang
biasanya dua-tiga menit telat bahkan pernah juga dia yang datang lebih
dulu.Dia duduk berhadapan dengan ku, sedikit tersenyum. Kami saling
menatap satu sama lain. Tatapan tajam, tapi dia kalah.
"Hey kau! Bagaimana kabarmu?kemana aja? dari tadi gak ada kabar" diam tanpa suara dan masih menundukkan pandangannya.
Tanpa panjang lebar dan
aku sudah muak dengan semua ini. Dengan semua yang telah dia lakukan
padaku selama ini, yang ada tiadanya aku sudah tidak berarti lagi.
"Nana, sebenarnya hubungan kita bagaimana sih? Aku merasa hubungan ini semakin tak jelas.
Sebenarnya di matamu aku siapa sih?"
Pesananya datang,
segelas susu coklat panas. Sepertinya dia memiliki selera dengan ku.
Menyukai minuman yang manis-manis. Pelayan berbaju putih itu memberikan
cokelat panas itu dan menyodorkan kepada Nana sambil memberikan sedikit
senyuman.
"Hubungan apa mas?"
"Lah, maksudnya. Status kita. Hubungan apalagi?"
"Hubungan aku sama kamu
kan sekedar teman. Aku sudah ada yang punya mas. Di sana. Di rumah."
dengan ringannya dia berbicara seolah-olah tanpa ada beban. Meluncur
begitu saja tanpa ampun dari sepasang bibir tipis itu.
"Terus selama ini aku
bukan apa-apa gitu, dengan kamu mengatakan cinta sayang seribu tahun
lamanya, Apakah itu yang namanya teman,?"
"Udah toh mas, itu sudah lalu.cobalah sedikit dewasa"
"Kau tahu, dengan kau
bertindak seperti itu ada hati yang terluka disini. Katanya kamu mau
menjaga hatimu untuk aku. Walaupun kita hidup berbeda tempat ratusan
kilometer. Kita akan tetap menjaga hati kita masing-masing" Aku menatap
kedua bola matanya yang coklat sembari memegang dada sebelah kiriku.
Kau bohong. Kau sudah
berjanji tapi kau juga yang mengingkariDia hanya terdiam. Aku terus
menatapnya dengan tatapan serius. Dia hanya memainkan susu cokelat di
depannya dengan sendok di tangannya. Dia menatap ku sebentar lalu
menundukkan lagi pandangannya. Dia mengambil tas yang di letakkan di
kursi sebelahnya dan pergi meninggalkanku tanpa berkata-kata bahkan
hanya sekedar melirik saja tidak.
Memang benar. Segelas
cokelat panas dengan cahaya lampu kuning membuat suasana hati terasa
syahdu. Hanya beberapa menit aku bertemu dia setelah sekian lama tanpa
kabar. Tapi sekarang hanya menyisakan lubang di hati. Padahal yang aku
inginkan adalah kabar baik.
Tepat satu bulan yang
lalu semenjak pertemuan itu aku masih belum bisa melupakan dia. Masih
terkenang semuanya dalam hati. Walau kenangan-kenangan indah bersamanya
telah berlalu beberapa tahun yang lalu. Inilah yang namanya cinta, walau
tak ada cinta yang datang, cinta ini terus berkobar untuknya. Indah
rasanya. Sirna sekarang. Tiada lagi kenangan baru bersama dia. Semuanya
telah sirna.
Hari-hari terus
berlalu. Jarum panjang pun tetap keras kepala berputar dengan konstan
tidak melambat maupun lebih cepat dari biasanya. Aku masih duduk di
balkon rumah. Menikmati pagi dengan segelas teh hangat. Asap tipis
mengebul menari-nari indah diatas hamparan larutan merah manis. Meja,
kursi, pot bunga, wajah-wajah dalam bingkai, semuanya terdiam menatap
ku. Sedangkan aku masih sibuk menatap si dia yang menari-nari.
Tiga tahun sudah berlalu. Tapi kenangan itu masih melekat pada jiwa ini. Perasaan itu masih sama tidak berubah.
"Mas... ketemuan yuk. Aku lagi di jogja ini." bagai hujan tanpa mendung, aku terima pesan masuk dari dia.
Dada ini bedegub dengan
kasarnya. Ada apa gerangan.Seperti mimpi di siang bolong. Orang yang ku
cintai selama ini mengajak ketemuan. Cerita masa lalu itu seakan-akan
sirna begitu saja. Bukankah itu hal yang wajar bagi seorang yang sedang
di mabuk cinta.
"Yuk,,, kapan? Dimana? Jam berapa?" jawab ku penuh dengan semangat.
"Sekarang aja mas,, di kafe dekat rumah mu. Masih ada kan?"
"Masih" jawab ku singkat, padat jelas hingga tak perlu penjelasan lagi untuk memahaminya.
"Yaudah di sana aja, sekarang aku berangkat dri rumah bu de ku" sepertinya dia yang bersemangat dari pada aku kali ini.
Kafe yang di maksud
berjarak 160 meter dari rumah ku, jadi tak butuh waktu lama sampai di
sana. Hanya beberapa putaran jarum panjang melewati angka dua belas.
Tempat yang biasa aku dan nana melepas rindu dan bertukar kasih sayang.
Sudah ada segelas
cokelat hangat di depan ku. Minuman favorit yang tak tergantikan. Yang
membuat lidah terasa meleleh. Sensasi yang tiada duanya. Apalagi cokelat
yang di gunakan adalah dark chocolate. Tambah membuat lidar siapapun
meleleh. Beberapa menit kemudian dia datang. Melihatnya menggunakan
pakaian warna cokelat muda, warna favoritnya. Dia terlihat cantik dan
menawan di mataku. Tak berubah seperti sedia kala.
"Mas, maaf kan aku yang dulu. Aku sudah membuat hati mas terluka. Maaf ya mas" sambil menatap ku indah.
"Iya gak apa apa.
Udahlah yang lalu biarkan berlalu. Toh masa lalu tidak bisa di ubah. Dia
akan tetap ada dan tetap tak bisa tergerus oleh waktu"
"Bagaimana kabar bapak, ibumu, adik-adik kamu di rumah?"
"Baik. Mas gimana?"
"Alhamdulillah, sehat wal afiat. Ibu, bapak kakak ku semuanya juga baik."
Dilihat dari raut mukanya. Aku yakin ada sesuatu yang ingin dia katakan.
"Ada apa? Udah ngomong aja."
"Mas aku mau minta maaf"
"Iya, sudah ku bilang dari tadi kok"
"Mas aku pengin kita jadi kayak dulu lagi" berkata dengan malu-malu.
"Kayak dulu yang
bagaimana?" aku masih bingun dengan semua ini. Sebenarnya aku sudah tahu
apa yang dia maksud, tapi aku ingin dia berkata dengan jelas supaya
tidak ada kerguan lagi di dalam hatiku.
"Kayak dulu mas. Saling
tanya kabar. Sudah makan belum? Sudah sholat belum? Saling memberi
perhatian. Pokoknya kayak dulu lagi lah"
Jin apa yang sudah
merasuki jiwanya hingga berkata seperti itu. Aku yang dulu menganggapnya
bagaikan si cebol yang mengharapkan bulan. Sekarang apa yang aku
harapkan tiga tahun lalu benar-benar terjadi. Berharap ada sapaan di
tiap paginya, selalu ada senyum riang nya yang menyejukkan hati, selalu
ada kejutan-kejutan yang benar benar aku inginkan dulu. Indah. Indah.
Indah. Bayangan di pikiran ku dulu. Tapi, itu dulu. Sekarang waktu sudah
merubah semuanya.
"Maaf Nana. Aku tidak
bias. Maaf sekali aku tidak bisa, tidak bisa seperti yang kau harapkan
itu. Cukup kita sekedar teman saja atau sahabat juga boleh. Yang penting
tidak saling bermusuhan dan putus komunikasi"
Dia tertegun dengan
jawaban yang aku berikan. Dia diam lagi seperti waktu itu. Diam
mulutnya. Tangannya tidak. Tangannya memegang sedotan dan mengaduk-aduk
cokelat yang sudah tidak panas lagi di depannya.
"Kenapa mas?"
"Tidak apa-apa. Aku hanya ingin sendiri. Ingin bebas dan merdeka dari urusan hati"
Aku berkata demikian karena aku tak mau menyakitinya. Bukannya aku
tidak mau dengan dia. Dia sudah masuk tipe cewek idaman ku. Dia pintar,
kaya raya, cantik, wanita yang energik. Tapi aku lebih memilih Rahma dia
yang sederhana dan pengetahuan tentang agamanya jauh lebih dalam dari
pada Nana. Walau bukan orang kaya atau secantik dia. Biarlah. Aku ingin
menikahi wanita karena agamanya, bukan karena hartanya, kecantikannya
ataupun nasabnya.
Aku pertama kali
melihat Rahma atau lebih tepatnya mendengar suaranya ketika acara
pernikahan sepupuku. Aku mendengar lantunan ayat-ayat suci yang indah
mendayu-dayu. Membuat hati ini serasa ada yang mengetuk. Aku
mencari-cari dimana suara itu berasal. Aku melihat dia duduk dengan
bersimpuh di panggung. Bertanya-tanya siapakah wanita yang membaca
ayat-ayat suci tadi. Dia terlihat mempesona. Menggunakan hijab berwarna
merah muda. Warna yang pas dengan kulit putihnya. Pada akhirnya dia
adalah anak seorang ustadz. Rumahnya hanya berjarak dua rumah dari rumah
sepupuku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar