Minggu, 24 Juli 2016

Rasa yang tak bisa kutemukan



    Indah itu ketika sudah lama tak bertemu dan kini bertemu kembali. Enak itu setelah sekian lama tak merasakan dan kini merasakan kembali. Nikmat itu mensyukuri semua yang telah terjadi.
Tapi semua itu tak bisa ku dapatkan. Aku masih ingat ketika aku masih kecil “ kangen gak sama bapak ?, sayang gak sama bapak ?”. kata kata itu masih terngiang di telingaku.

  Dulu aku sering mengelus jenggotnya yang  kasar sambil duduk di pangkuannya. Dulu aku sering memainkan kuku jarinya yang agak panjang. Dulu aku sering tiduran di punggungnya. Dulu aku masih ingat ketika aku digendong pada malam hari ketika tidur di rumah nenek. Ketika esok harinya, aku baru tahu seorang yang menggendongku tadi malam adalah bapakku yang entah berapa bulan ia baru pulang dari Surabaya.

   Dulu aku masih ingat ketika ia menjemput aku sekolah yang selama tiga tahun bisa di hitung dengan jari. Dulu aku masih ingat ketika ia membawakan mainan , camilan dan membagikannya ke aku dan orang orang sekitar. Dulu aku masih ingat pernah di ajak sholat jamaah di masjid entah itu maghrib atau isya’. Dan masih banyak kenangan indah yang masih bisa kuingat.

  Dulu aku sering mencuri sepotong kue yang ia jajakan. Dulu aku pernah memaksanya untuk mengantar sekolah dan ia terpaksa menurunkan dagangannya kembali yang telah ia tata. Dulu aku meminta dibelikan buku karena tahun ajaran baru, tapi aku hanya bisa mengais ngais kertas kosong tahun ajaran lalu. Dulu aku sering meminta dibelikan sepatu baru tapi baru beberapa hari aku dibelikan dan terpaksa aku memakai sepatu bolong dalam rentan waktu itu. Dulu aku tahu betapa susah ia mengumpulkan uang tapi aku terus meminta ini itu dan aku terpaksa untuk tidak seperti teman teman yang lain.

  Kini aku hanya bisa bertemu dengannya hanya dalam mimpi. Tak bisa memeluknya. Tak bisa mendengarnya. Tak bisa melihatnya. Aku pernah bertemu dengannya dalam tidurku. Ketika itu aku sangat rindu padanya. Aku menunggunya di depan rumah. Disana ada aku, mbak ku dan ibu. Entah ia datang dari mana, yang kutahu ia sudah di depan rumah. Ia salaman dengan ibu, juga mbakku. Aku menangis, menangis dengan sangatnya. Aku memeluknya dengan erat. Ia mengelus kepalaku dan tersenyum lebar padaku. Aku masih menangis, meminta maaf dan maaf padanya. Dalam pikirku aku sudah banyak salah padanya. Aku menangis dan menangis hingga entah berapa banyak tetes air mata yang jatuh. Aku masih memeluknya  dan sedikit demi sedikit ia menghilang dari penglihatanku dan menghilang dari pelukanku.

“ Yang penting kamu harus sekolah bagaimanapun caranya ” dan hanya itu yang bisa membuatku bersemangat belajar.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar