Rasa yang tak bisa kutemukan
Indah itu ketika sudah lama
tak bertemu dan kini bertemu kembali. Enak itu setelah sekian lama tak
merasakan dan kini merasakan kembali. Nikmat itu mensyukuri semua yang telah
terjadi.
Tapi semua itu tak bisa ku
dapatkan. Aku masih ingat ketika aku masih kecil “ kangen gak sama bapak ?,
sayang gak sama bapak ?”. kata kata itu masih terngiang di telingaku.
Dulu aku sering mengelus
jenggotnya yang kasar sambil duduk di
pangkuannya. Dulu aku sering memainkan kuku jarinya yang agak panjang. Dulu aku
sering tiduran di punggungnya. Dulu aku masih ingat ketika aku digendong pada
malam hari ketika tidur di rumah nenek. Ketika esok harinya, aku baru tahu
seorang yang menggendongku tadi malam adalah bapakku yang entah berapa bulan ia
baru pulang dari Surabaya.
Dulu aku masih ingat ketika ia menjemput aku sekolah
yang selama tiga tahun bisa di hitung dengan jari. Dulu aku masih ingat ketika
ia membawakan mainan , camilan dan membagikannya ke aku dan orang orang
sekitar. Dulu aku masih ingat pernah di ajak sholat jamaah di masjid entah itu
maghrib atau isya’. Dan masih banyak kenangan indah yang masih bisa kuingat.
Dulu aku sering mencuri
sepotong kue yang ia jajakan. Dulu aku pernah memaksanya untuk mengantar
sekolah dan ia terpaksa menurunkan dagangannya kembali yang telah ia tata. Dulu
aku meminta dibelikan buku karena tahun ajaran baru, tapi aku hanya bisa mengais
ngais kertas kosong tahun ajaran lalu. Dulu aku sering meminta dibelikan sepatu
baru tapi baru beberapa hari aku dibelikan dan terpaksa aku memakai sepatu
bolong dalam rentan waktu itu. Dulu aku tahu betapa susah ia mengumpulkan uang
tapi aku terus meminta ini itu dan aku terpaksa untuk tidak seperti teman teman
yang lain.
Kini aku hanya bisa bertemu
dengannya hanya dalam mimpi. Tak bisa memeluknya. Tak bisa mendengarnya. Tak
bisa melihatnya. Aku pernah bertemu dengannya dalam tidurku. Ketika itu aku
sangat rindu padanya. Aku menunggunya di depan rumah. Disana ada aku, mbak ku
dan ibu. Entah ia datang dari mana, yang kutahu ia sudah di depan rumah. Ia
salaman dengan ibu, juga mbakku. Aku menangis, menangis dengan sangatnya. Aku
memeluknya dengan erat. Ia mengelus kepalaku dan tersenyum lebar padaku. Aku
masih menangis, meminta maaf dan maaf padanya. Dalam pikirku aku sudah banyak salah
padanya. Aku menangis dan menangis hingga entah berapa banyak tetes air mata
yang jatuh. Aku masih memeluknya dan
sedikit demi sedikit ia menghilang dari penglihatanku dan menghilang dari
pelukanku.
“ Yang penting kamu harus
sekolah bagaimanapun caranya ” dan hanya itu yang bisa membuatku bersemangat
belajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar